Jumat, 14 Februari 2014







I Maddi Daeng Rimakka: Sang Raja Yang Tewas Dalam Perang


Di Butta Turatea, ada sebuah cerita yang beredar dan mewarisi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Cerita tersebut berkisah tentang keberanian seorang I Maddi Daeng Rimakka, seorang pemberani kerajaan Gowa di Binamu dan pernah ditawan oleh kompeni. Dia dimuliakan di Layu, pemimpin di Balandangan, penguasa di Binamu, dan di persiapkan untuk menjadi Raja di Turatea.
Cerita bermula, ketika Karaeng Bodo-Bodoa (orang dekat I Maddi Daeng Rimakka?) dan beberapa bangsawan lainnya, mengambil (mencuri?) beberapa ekor kerbau dan kuda milik Karaeng Bontotangnga pada malam hari. Kemudian mereka potong dan santap bersama di pesta minum arak, sehingga di keesokan harinya terlihat bekas dan sisa-sisa makanan di tempat tersebut.
Padahal seharusnya kerbau dan kuda tersebut, akan dijadikan santapan pada pesta yang akan di selenggarakan oleh Karaeng Bontotangnga. Pesta (pernikahan?) yang akan digelar dalam jangka waktu yang tidak lama lagi.
Tidak lama kemudian, berita tersebut sampai di telinga Karaeng Bontotangnga. Dan sebagai responnya, Karaeng Bontotangnga memanggil para Pemangku Adatnya menghadap untuk dimintai pendapat terkait peristiwa tersebut.
Setelah Pemangku Adat tiba di istana dan nyirih beberapa saat, Karaeng Bontotangnga berkata, “Wahai para Pemangku Adatku, berilah satu solusi atas musibah yang menimpa keluarga istana ini. Saya merasa merasa malu karena pesta akan segera dilaksanakan, sementara kerbau dan kuda habis di pesta minum arak.”
Mendengar perkataan sang Raja, para pemangku adat kebingungan. Sehingga tak satupun solusi yang terlontar di mulut mereka. Melihat pemangku adatnya bingung, maka sang Raja bertitah, “Pergilah ke I Maddi Daeng Rimakka. Minta pertanggungjawabannya. Karena Ia juga ikut di pesta minum arak tersebut.”
================
I Maddi Daeng Rimakka sedang duduk santai di baruganya. Asyik mewarnai kukunya, menusuk gigi merahnya, dan menyisir rambut panjangnya, ketika utusan Karaeng Bontotangnga tiba di istananya. Melihat tamunya datang, I Maddi Daeng Rimakka mempersilahkannya duduk dan menyodorkan sirih pinang di talang emas.
Selang beberapa saat kemudian, I Maddi Daeng Rimakka berkata, “Ada apa gerangan paman datang ke istanaku?” Salah seorang utusan menjawab, “Kami diutus oleh Karaeng Bontotangnga untuk menyampaikan pesan kepada ananda. Sang Raja ingin agar ananda mengganti kerbau dan kuda miliknya, pamanmu sendiri. Agar ananda tetap rukun sekeluarga dan tidak terjadi pertumpahan darah.”
Mendengar pesan tersebut, I Maddi Daeng Rimakka naik pitam seraya berkata, “Katakan pada Karaeng Bontotangnga, jika ingin kerbau dan kuda itu diganti, maka kamu harus terlebih dahulu memenggal kepalaku di medan perang. Karena hanya dengan cara itu, aku baru bisa mengabulkan permintaanmu.”
Mendengar statement keras dari I Maddi, para utusan itupun pulang dan melaporkannya ke Karaeng Bontotangnga.
=================
Setelah mendengar berita penolakan I Maddi, Karaeng Bontotangnga gusar. Namun sebagai seorang paman dan juga seorang Raja, Ia masih memberikan kesempatan kedua sebelum perang benar-benar terjadi. Oleh karena itu, Ia menyuruh kembali utusannya untuk menemui I Maddi, agar berfikir baik-baik dan sudi kiranya memenuhi permintaannya. Tapi toh jika tetap bersikeras pada pendiriannya, maka pesan Karaeng Bontotangnga kepada I Maddi agar mempertajam tombaknya dan mengasah badiknya, karena cepat atau lambat perang akan terjadi.
Utusan pun berangkat. Mereka sampai di istana ketika I Maddi sedang asyik bermain raga bersama koleganya. Ibu I Maddi yang juga asyik menonton lewat jendela bersama I Mulli Daeng Massayang (istri kesayangan I Maddi), melihat kedatangan utusan tersebut dan memanggil I Maddi agar menghentikan permainan dan segera menemui tamunya. I Maddi pun meninggalkan permainan dan mempersilahkan tamunya masuk ke istana.
Seperti biasa, setelah istirahat sejenak dan sirih pinang tersaji di talang emas, I Maddi membuka pembicaraan dengan pertanyaan yang bernada penasaran. Salah seorang utusan menjawab, “Kiranya kali ini ananda dapat memenuhi permintaanku. Kami tidak ingin ada pertumpahan darah antar dua kerajaan ini. Kami harap ananda mau mengganti kerbau dan kuda pamanmu. Jika ananda masih tetap bersikeras tidak mau menggantinya, maka beliau akan menempuh jalan peperangan yang tentunya akan menebar malapetaka.”
Tapi bukan I Maddi Daeng Rimakka jika akan melunak begitu saja. Sambil menggigit bibirnya dan menepuk dada Ia berteriak, “Nanti di perbatasan Layu baru kerbau itu kubayar. Nanti di jembatan Manjangloe baru kuda-kuda Karaeng Bontotangnga kuganti.”
Mendengar itu, ayah dan ibu I Maddi (yang juga ada di tempat) menasehati anaknya. Katanya, “Apakah hanya kerbau seekor dan kuda beberapa ekor sehingga engkau ingin merenggang nyawa, Anakku? Engkau pandang remeh masalah ini. Bagaimana jika sekiranya di medan perang engkau dikalahkan? Bukankah itu cukup menyulitkanmu dan membuatmu putus asa?”
Tapi I Maddi tidak bergeming. Bahkan dengan gagahnya Ia berkata, “Tidak seorangpun yang aku takuti. Siapapun di depanku akan aku hantam dengan tombak dan keris pusaka. Meskipun orang kebal aku akan membunuhnya. Aku akan bergerak laksana elang menyambar mangsa, seperti burung garuda menerkam musuhnya.”
“Jika itu menjadi keputusanmu, maka lakukanlah! Engkau tidak mau lagi menerima nasehatku, maka saranku berhati-hatilah di medan laga.” Pasrah ayah I Maddi. “Perbaiki taktik dan strategimu, karena lawanmu itu sebenarnya dari Bone. Karaeng Bontotangnga adalah orang keras dan berpengalaman di medan perang.” Lanjutnya.
====================
Sadar bahwa perang pasti akan terjadi. Maka, I Maddi mengutus Jolo Daeng Mannilingi dan Seke Daeng Manrokkai untuk menemui Raja Cina di Bontoala. Tujuannya agar Raja Cina tersebut bisa memberikan bantuan 8 buah baju besi, lamin 4 pasang, baju berantai 40 buah, dan senjata 12 pucuk lengkap dengan pelurunya.
Namun harapan I Maddi tidak terpenuhi. Bahkan kedua utusannya itu hanya membawa pesan dari Raja Cina, agar menghindari perang karena kedua belah pihak masih satu keluarga. Juga agar I Maddi rela memenuhi permintaan Karaeng Bontotangnga, karena itu memang kewajiban I Maddi Daeng Rimakka.
Mendengar pesan dari Raja Cina tersebut, I Maddi berkata sambil mengusap airmatanya, “Aku malu jika rencana ini tidak diteruskan. Ibarat kuda, pelananya sudah terpasang. Telah kuputuskan apapun yang terjadi, akan aku pikul meskipun berat.”
Setelah berkata demikian, I Maddi melangkah turun dari istana menemui pasukannya dan bertitah, “Wahai rakyat dan pasukanku, bersiaplah menghadapi perang! Siapkan pula kudaku, Si Balo Dodong dari Balumbungang.”
Setelah itu, I Maddi menuju ke tempat peristirahatannya. Disana Ia berdiskusi dengan I Rambu Daeng Rimoncong dan I Manja Daeng Mannyarrang tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di medan laga, meskipun Raja Cina di Bontoala tidak berkenan memberinya bantuan.
=====================
Genderang perang mulai di tabuh. Matahari masih bersembunyi di timur, namun biasnya cukup terang untuk memulai sebuah perang.
I Maddi Daeng Rimakka beserta pasukannya bergerak perlahan meninggalkan istana menuju ke timur, semakin ke timur, yah… ke medan laga. Ke sebuah tempat yang telah di sepakati kedua belah pihak, di perbatasan Layu di kaki bukit Romang Polong. Disanalah ajang pembuktian tentang arti sebuah harga diri, meskipun darah dan nyawa sebagai tumbalnya.
Maka tanpa kenal lelah, I Maddi beserta pasukannya rela menempuh perjalanan panjang nan berliku. Menyusuri hutan belantara, mendaki bukit, dan menyeberangi sungai-sungai, hingga mereka sampai di perbatasan Romang Polong, ketika matahari tepat diatas kepala.
Dari arah timur, nampak pula Karaeng Bontotangnga bersama pasukannya terlihat laksana sebuah pulau kecil. Hadir pula bersamanya, Ballaco Bontotangnga, I Cangkiong di Mannyumbeng, dan I Pa’da di Arungkeke.
I Rambu dan I Manja yang melihat gerombolan pasukan tersebut seketika menjadi pucat. Nyalinya menciut dan kehilangan keberanian. Dengan suara bergetar, I Rambu berkata kepada I Maddi Daeng Rimakka, “Kita sebaiknya mengurungkan niat Karaeng. Saya melihat kekuatan Karaeng Bontotangnga terlalu kuat untuk kita hadapi.”
Melihat sikap I Rambu yang tidak terpuji itu, I Maddi berkata, “Aku malu melarang pasukanku berperang. Aku juga tidak mungkin lagi mengurungkan niat untuk berperang. Jika pun aku mati di medan perang, maka aku minta siapkan saja kain kafan dan kerandaku. Kita akan saling membunuh!”
“Kalau begitu, baiklah kita berperang!” Seru I Rambu dan I Manja yang pada awalnya gentar melihat kekuatan lawan.
Setelah itu, sambil memukul dada bergeraklah I Maddi Daeng Rimakka bersama kudanya, Si Balo Dodong. Di belakang, I Rambu dan I Manja beserta pasukan lainnya mengikutinya. Tidak lama kemudian, bertemulah I Maddi dengan Karaeng Bontotangnga tepat di kaki bukit Romong Polong.
======================
“Wahai Maddi, baliklah badanmu. Tidak lama lagi kau akan terbunuh. Sudah lama kau anggap dirimu pemberani. Tidak ada orang lain yang kau anggap manusia.” Seru Karaeng Bontotangnga di tengah kecamuk perang.
“Akulah laki-laki tanpa tanding. Akulah matahari yang tidak akan redup apalagi tenggelam di medan perang.” Balas I Maddi.
“Kalau begitu, mari kita berperang sampai tewas.” Teriak Karaeng Bontotangnga sambil menghunus tombaknya.
Pada saat itu juga, I Maddi melompat dari kudanya. Menghunus tombaknya sambil menerkam dan menerjang laksana elang. Tidak butuh waktu lama, I Maddi tenggelam dalam pertempuran. Ia sudah tidak nampak di tengah-tengah kerumunan musuh. Begitupun juga Karaeng Bontotangnga yang membabi buta di tengah-tengah kumpulan pasukan I Maddi Daeng Rimakka.
Kontras dengan itu, I Rambu dan I Manja yang sedari tadi gentar melihat lawan. Tiba-tiba melarikan diri dari medan perang, meninggalkan I Maddi yang sedang mengamuk, dan berlari hingga di tangga istana I Maddi Daeng Rimakka.
Selang beberapa saat kemudian, I Maddi berhasil menombak I Garigi Daeng Mattarang, menyerang I Ranggong di Tana Toa, dan mengejar I Marengge Karaeng Bonto serta Karaeng Bontotangnga itu sendiri.
Namun, keberuntungan masih berada di pihak Karaeng Bontotangnga. Di tengah-tengah pengejarannya, muncullah Ballaco bersama I Cangkiong dan I Pa’da di Arungkeke. Sambil memukul dada, Ballaco berseru, “Lawan aku wahai Maddi. Akulah Ballaco dari Bontotangnga.”
Melihat kondisi yang kurang menguntungkan, I Maddi berkata, “Apakah kau sudah lupa Ballaco pada saat aku menikah dengan keluargamu, I Mulli Daeng Massayang di Tonrokassi?”
“Percuma mengingat kebaikan masa lalu bila sudah terlanjur di medan perang. Kenangan manis tidak berarti apa-apa jika harga diri telah dilecehkan.” Ballaco membalas.
“Jika demikian, kita pasti bertempur dan aku tidak tidak akan gentar menghadapimu.” Seru I Maddi.
Pada saat yang bersamaan, I Maddi mengayunkan tombaknya laksana kerbau di atas titian. Mengamuk membabi buta. Tapi baru tiga kali menyerang, Ia terkepung. Karaeng Bontotangnga dan Ballaco dari depan, I Cangkiyong dari samping, dan I Pa’da dari belakang, bersama-sama menghunjamkan tombaknya ke arah I Maddi hingga jatuh tersungkur ke tanah. Gigi merahnya patah, tujuh belas luka di tubuhnya, dan tiga jemarinya terputus kena tombak.
Yah, I Maddi Daeng Rimakka kalah. Ia sudah tak mampu melawan. Hunjaman puluhan tombak tak sanggup Ia tepis, hingga Sang Pemberani meregang maut. Ia tewas di tangan Karaeng Bontotangnga dan sekutunya. Tewas di atas keperkasaan dan keberaniannya yang tak pandang bulu.***
(Disarikan dari buku: “I Maddi Daeng Rimakka” Sang Raja Di Telan Maut)